LEGAL UPDATES BY BEPARTNERS
Tindak Pidana Korporasi Berdasarkan Wetboek van Strafrecht dan KUHP
02 March 2023

Pemerintah Republik Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada 2 Januari 2023; yang kemudian diundangkan oleh Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia pada tanggal yang sama. Berdasarkan Pasal 624 KUHP, undang-undang tersebut akan berlaku setelah tiga tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Dengan demikian, KUHP ini akan berlaku pada 2 Januari 2026 dan secara otomatis akan mencabut dan menyatakan WvS tidak lagi berlaku.

 

Managing Partner di Bagus Enrico & Partners Counsellors at Law, Bagus SD Nur Buwono menjelaskan, perbedaan mendasar antara WvS dan KUHP terkait dengan filosofi yang melandasinya. WvS mengacu pada aliran klasik (memusatkan perhatian hukum pidana pada perbuatan atau tindak pidana—berkembang pada abad ke-18); sedangkan KUHP memusatkan diri dan mengacu pada aliran neoklasik (Menjaga keseimbangan antara faktor objektif (perbuatan/lahiriah) dan faktor subjektif (orang/batiniah/sikap batin). Aliran ini berkembang pada abad ke-19).

 

“Dengan demikian, KUHP ini tidak hanya berpusat pada tindak pidana yang terjadi, tetapi juga terhadap aspek individual pelaku tindak pidana." kata Bagus.

 

Tindak Pidana Korporasi berdasarkan Wetboek van Strafrecht

 

Selama berabad-abad, Indonesia menggunakan peraturan hukum pidana yang diadopsi dari Belanda: Wetboek van Strafrecht atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagaimana ditetapkan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (yang telah beberapa kali diubah WvS). Secara umum, WvS di Indonesia menganut prinsip ‘subjek hukum pidana adalah orang perseorangan’ (naturlijkee person). Hal ini karena, WvS mengadopsi ketentuan Wetboek van Strafrecht yang berlaku di Belanda pada 1881, di mana peraturan tersebut masih menganut asas societas delinquere non potest (korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana) atau universitas delinquere non potest (korporasi tak dapat dipidana).

 

Bagus menerangkan, hingga saat ini, WvS yang digunakan Indonesia belum mengenal dan mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana. Subjek hukum korporasi di Belanda baru dikenal secara luas setelah dilakukan perubahan terhadap Pasal 51 WvS Belanda pada 1976, yang diambil dari ketentuan Wet Economische Delicten pada tahun 1950. Adapun di Indonesia, subjek hukum korporasi dikenal dan diakui melalui Undang-Undang Darurat No. 7 tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.

 

Meskipun belum mengenal dan mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana, tetapi WvS telah mengenal konsep pertanggungjawaban korporasi yang dibebankan kepada pengurus korporasi (baik dalam hal tindak pidana dilakukan oleh pengurus maupun korporasi). Bagus lantas merujuk makalah Guru Besar Ilmu Hukum Pidana dan Kriminologi Universitas Indonesia, Mardjono Reksodiputro yang berjudul Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korporasi (1989). Di sana, terdapat tiga model pertanggungjawaban pidana terkait korporasi yang berlaku di Indonesia, meliputi (1) pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus korporasi yang bertanggung jawab; (2) korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab; dan (3) korporasi sebagai pembuat dan juga korporasi yang bertanggung jawab.  

 

“Sehubungan dengan model pertanggungjawaban tersebut, WvS hanya mengenal model pertama dan kedua saja, sedangkan model ketiga dianut dan diadopsi oleh undang-undang lex specialis di luar WvS.” ujar Bagus.

 

Pertama, pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus korporasi yang bertanggung jawab. Model ini bersandar pada pemikiran bahwa badan hukum tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, sebab pengurus yang akan selalu dianggap sebagai pelaku atas delik tersebut. Pada model ini, pengurus korporasi dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu meski sebenarnya, kewajiban tersebut adalah kewajiban dari korporasi. Jika pengurus tidak memenuhi kewajiban tersebut, ia juga akan dipidana.

 

“Merujuk pada WvS yang berlaku di Indonesia, model pertanggungjawaban ini termaktub di dalam Pasal 169, Pasal 398, dan Pasal 399 WvS. Pasal-pasal tersebut pada intinya menyatakan bahwa terhadap pendiri, pengurus, maupun komisaris suatu perseroan terbatas yang melakukan maupun turut serta dalam melakukan kejahatan, maka akan dikenakan sanksi pidana. Jika melihat ketentuan tersebut, perbuatan pidana dan pertanggungjawaban lebih ditekankan kepada pengurus, bukan korporasinya.” sebagaimana juga tertulis dalam buku berjudul Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (2011).  

 

Kedua, korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab. Pada model ini, korporasi sebagai subjek hukum sudah dikenal, sehingga dianggap dan diakui mampu melakukan perbuatan pidana. Namun, pertanggungjawabannya tetap akan dibebankan kepada pengurus.

 

Pengurus ditunjuk sebagai alat yang bertanggung jawab atas apa yang dianggap dilakukan oleh korporasi, yaitu yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran dasarnya. Namun, hal ini hanya berlaku untuk pelanggaran, bukan kejahatan. “Dengan demikian, pengurus atau pemimpin korporasi bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang dianggap sebagai tindakan dari korporasi, terlepas ia mengetahuinya atau tidak.” Bagus menambahkan.

 

Berdasarkan WvS yang berlaku di Indonesia, menurut Mardjono, model pertanggungjawaban kedua ini telah termaktub di dalam Pasal 59 WvS, yang menyatakan bahwa dalam hal pelanggaran dilakukan oleh pengurus, anggota, maupun komisaris; maka pengurus, anggota, maupun komisaris yang tidak terlibat tidak dipidana. Ketentuan ini mengatur korporasi dapat melakukan tindak pidana. Namun, pertanggungjawabannya dibebankan kepada pengurus, kecuali pengurus tersebut dapat membuktikan dirinya tidak terlibat.

 

Ketiga, korporasi sebagai pembuat dan juga korporasi yang bertanggung jawab. Pada model ini, kedudukan korporasi sebagai subjek hukum telah diakui sepenuhnya. Ini karena korporasi sebagai pembuat telah dapat diminta pertanggungjawaban. Model pertanggungjawaban ini tidak diatur di dalam WvS, melainkan melalui undang-undang khusus lain, salah satunya Pasal 15 Undang-Undang Darurat No. 7 tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.

 

“Dengan demikian, telah jelas bahwa WvS di Indonesia hanya mengenal model pertanggungjawaban pertama dan kedua terhadap tindak pidana korporasi, yang mana pada akhirnya beban pertanggungjawaban tersebut tetap akan dijatuhkan kepada pengurus korporasi (karena ia dibebankan tugas mengurus (zorgplicht)).” dikutip dari makalah Tindak Pidana Korporasi dan Pertanggungjawabannya—Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan di Indonesia.

 

Pengaturan Tindak Pidana Korporasi berdasarkan KUHP

 

KUHP terdiri atas dua buku: Buku Kesatu dan Buku Kedua. Buku Kesatu berisi aturan umum sebagai pedoman penerapan Buku Kedua (serta undang-undang di luar KUHP ini). Pengertian istilah-istilah yang tercantum dalam Bab V Buku Kesatu juga akan berlaku pula untuk undang-undang yang bersifat lex specialis. Sementara itu, Buku Kedua akan berisi tindak pidana. KUHP ini tidak lagi membedakan tindak pidana berupa kejahatan maupun pelanggaran, untuk keduanya digunakan istilah ‘tindak pidana’.

 

Kemudian, karena perkembangan dan kemajuan yang pesat dalam bidang keuangan, ekonomi, dan perdagangan; juga berkembangnya tindak pidana yang terorganisasi (baik bersifat domestik maupun transnasional), subjek hukum yang ada juga mencakup korporasi. “Lain halnya dengan WvS yang belum mengenai korporasi sebagai subjek tindak pidana, di KUHP, pengaturan terkait korporasi diatur dengan sangat detail, baik sehubungan dengan (i) definisi korporasi, (ii) definisi tidak pidana korporasi; (iii) pertanggungjawaban korporasi; (iv) sanksi terhadap tindak pidana korporasi; dan lainnya.” kata Bagus.

 

Definisi Korporasi dan Tindak Pidana Korporasi

 

Berbeda dengan WvS, KUHP telah secara eksplisit mengakui keberadaan korporasi melalui Pasal 145 dan Pasal 146 KUHP. Pasal 145 KUHP menyatakan ‘setiap orang’ sebagai orang perseorangan, termasuk korporasi. Sementara itu, Pasal 146 KUHP memberikan secara jelas definisi korporasi, yaitu sebuah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik berupa badan hukum (berbentuk perseroan terbatas, yayasan, perkumpulan, koperasi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa, atau yang disamakan dengan itu), maupun perkumpulan yang tidak berbadan hukum atau badan usaha yang berbentuk firma, persekutuan komanditer (atau yang disamakan dengan itu). Apabila mengacu pada Pasal 614 KUHP, pada saat KUHP ini berlaku, definisi korporasi di atas juga akan berlaku pada undang-undang lain di luar KUHP.

 

Selain telah diakui sebagai subjek hukum, dalam Pasal 45 KUHP, korporasi juga telah diakui sebagai subjek tindak pidana dan telah dianggap mampu melakukan suatu tindak pidana. Ketentuan tersebut diakomodasi melalui Pasal 46 KUHP yang menyatakan tindak pidana oleh korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh (i) pengurus yang memiliki ‘kedudukan fungsional’ dalam struktur organisasi korporasi; atau (ii) orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak untuk dan atas nama korporasi; atau bertindak demi kepentingan korporasi dalam lingkup usaha atau kegiatan korporasi, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama.

 

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan ‘kedudukan fungsional’ yaitu merujuk kepada seseorang yang memiliki (i) kewenangan mewakili; (ii) mengambil keputusan; dan (iii) untuk menerapkan pengawasan terhadap korporasi tersebut, termasuk yang berkedudukan sebagai orang yang menyuruh melakukan, turut serta melakukan, menggerakkan orang lain supaya melakukan, maupun membantu tindak pidana tersebut.

 

Di sisi lain, pada Pasal 47 KUHP, tindak pidana oleh korporasi juga dapat dilakukan oleh pemberi perintah, ‘pemegang kendali’, atau pemilik manfaat korporasi yang berada di luar struktur organisasi, tetapi dapat mengendalikan korporasi. ‘Pemegang kendali’ adalah setiap orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang sebagai penentu kebijakan korporasi atau memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan korporasi tanpa harus mendapatkan otorisasi dari atasannya.

 

“Dengan telah diakuinya korporasi sebagai subjek tindak pidana sebagaimana telah diakomodasi melalui pasal-pasal KUHP di atas, maka korporasi telah dianggap mampu melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.” Bagus melanjutkan.

 

Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi Berdasarkan KUHP

 

Selain mengakui keberadaan korporasi sebagai subjek pidana, KUHP juga memberikan pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi. Pasal 49 KUHP telah memuat, yang dapat bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah korporasi, pengurus yang memiliki kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, dan/atau pemilik manfaat korporasi.

 

Namun, mengacu Pasal 48 KUHP, pertanggungjawaban tersebut di atas hanya dapat dikenakan apabila tindak pidana tersebut (i) termasuk dalam lingkup usaha atau kegiatan korporasi; (ii) menguntungkan korporasi secara melawan hukum; (iii) diterima sebagai kebijakan korporasi; (iv) korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan; dan/atau (v) korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana.

 

Associate Lawyer di Bagus Enrico & Partners Counsellors at Law, Rully Faradhila Ariani mengungkapkan, jika ditelisik lebih lanjut, ada kemungkinan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi meliputi (1) korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan pengurus yang bertanggung jawab atau (2) korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan sebagai yang bertanggung jawab.  Jadi, apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh dan untuk suatu korporasi, penuntutannya dapat dilakukan, dan pidananya dapat dijatuhkan terhadap korporasi sendiri, korporasi dan pengurusnya, atau pengurusnya saja.

 

Meski demikian, Pasal 50 KUHP menyebutkan, tetap ada alasan pemaaf dan pembenar yang diberikan dan dapat diajukan oleh pengurus (yang memiliki kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, dan/atau pemilik manfaat korporasi), atau korporasi, sepanjang alasan tersebut berhubungan langsung dengan tindak pidana yang didakwakan kepada korporasi.

 

Pengenaan Sanksi terhadap Korporasi berdasarkan KUHP

 

Tak seperti WvS yang sama sekali tidak mengatur mengenai sanksi terhadap korporasi, KUHP mengatur sanksi tersebut dengan jelas dan detail. Mengacu pada Pasal 118 KUHP, pidana korporasi terdiri atas (i) pidana pokok; dan (ii) pidana tambahan.

 

Dalam pasal 79 KUHP, telah diatur pidana pokok yang dikenakan terhadap korporasi adalah denda yang dijatuhi paling sedikit kategori IV sebesar Rp200.000.000 (dua ratus juta Rupiah) dan paling banyak kategori VIII sebesar Rp50.000.000.000 (lima puluh miliar Rupiah), kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Dalam hal tindak pidana tersebut diancam dengan penjara, maka pidana penjara dapat diubah menjadi pidana denda dengan perhitungan sebagaimana ditentukan Pasal 121 KUHP.

 

Pidana denda tersebut, harus dibayar dalam jangka waktu tertentu sebagaimana termuat dalam putusan pengadilan. Jika tidak dibayarkan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, kekayaan atau pendapatan korporasi dapat disita atau dilelang oleh jaksa untuk melunasi pidana denda. Namun, jika kekayaan atau pendapatan korporasi tidak mencukupi, korporasi akan dikenai pidana berupa pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan korporasi.

 

Selain dapat menjatuhkan pidana pokok (denda), Pasal 122 KUHP juga memuat pidana tambahan bagi korporasi seperti (a) pembayaran ganti rugi; (b) perbaikan akibat tindak pidana; (c) pelaksanaan kewajiban yang telah dilalaikan; (d) pemenuhan kewajiban adat; (e) pembiayaan pelatihan kerja; (f) perampasan barang atau keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; (g) pengumuman putusan pengadilan; (h) pencabutan izin tertentu; (i) pelarangan permanen melakukan perbuatan tertentu; (j) penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan korporasi; (k) pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan usaha korporasi; dan pembubaran korporasi.

 

“Sebagai catatan, terkait dengan pidana tambahan pencabutan izin tertentu, penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan korporasi, dan pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan usaha korporasi, dapat dijatuhi paling lama dua tahun. Selanjutnya, apabila korporasi tidak melaksanakan pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada huruf (a) sampai (e) di atas, kekayaan atau pendapatan korporasi dapat disita dan dilelang oleh jaksa untuk memenuhi pidana tambahan yang tidak dipenuhi.” Rully menguraikan.

 

Pada Pasal 123 KUHP, korporasi juga dapat dikenakan tindakan selain pidana pokok dan tambahan, seperti pengambilalihan korporasi; penempatan di bawah pengawasan; dan/atau penempatan korporasi di bawah pengampuan.

 

Dengan diaturnya pertanggungjawaban pidana korporasi di dalam KUHP, pertanggungjawaban pidana korporasi yang semula hanya berlaku untuk tindak pidana tertentu di luar KUHP, berlaku juga secara umum untuk tindak pidana lain, baik di dalam maupun di luar KUHP ini. Jadi, korporasi dapat dikenakan sanksi terhadap hampir pada keseluruhan pasal tindak pidana, baik yang diatur di dalam KUHP, maupun yang diatur dalam undang-undang lex specialis.

         

Adapun selain korporasi, pengurus korporasi yang memiliki kedudukan fungsional (punya kewenangan untuk mewakili korporasi, mengambil keputusan atas nama korporasi, dan mempunyai kewenangan menerapkan keputusan terhadap korporasi), yang melakukan tindak pidana dengan menguntungkan korporasi. Baik sebagai pelaku maupun sebagai pembantu tindak pidana dalam lingkup usaha atau pekerjaan korporasi tersebut, termasuk pengendali korporasi, pemberi perintah, dan penerima manfaat, juga dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.

 

“Dengan demikian, hampir seluruh pihak yang terlibat dan terkait dapat dikenakan sanksi terhadap tindak pidana oleh korporasi.” pungkas Rully.

 

Artikel ini merupakan kerja sama Bagus Enrico & Partners dengan Hukumonline.

©2024. BE Partners. All Rights Reserved
RELATED LEGAL UPDATES